Skip to main content

Epilog Sang Pengabdi: Sebuah Jeda di Hari Guru 2025


Gerimis tipis membasahi jendela ruang guru sore itu, seolah turut merayakan jeda dalam perjalanan panjangku. Di sudut ruangan, sebuah piagam kecil bertanggal 1999 mengingatkan pada masa lalu yang kini terasa seperti bayangan samar. Seperempat abad telah berlalu sejak aku, seorang mahasiswa yang masih hijau, menginjakkan kaki pertama kali di gerbang sekolah pertama dan dilanjutkan 2003 di sekolah yang sekarang ini. Hari Guru tahun 2025 ini menjadi monumen refleksi atas sebuah novel kehidupan yang setiap halamannya ditulis dengan tinta pengalaman.

Dunia pendidikan, khususnya di jenjang SMP, adalah sebuah teater mini tempat drama kehidupan dipentaskan setiap hari. Di sini, aku bertemu dengan jiwa-jiwa yang beraneka rupa: dari mata yang berbinar penuh potensi dari keluarga berada, hingga tatapan yang menyimpan beban hidup dari latar belakang yang lebih sederhana. Ada yang pandai luar biasa, ada yang biasa saja, ada yang sopan santunnya menyejukkan, ada pula yang cuek dan penuh misteri khas usia labil.

Aku sering mendapati mereka membawa serpihan-serpihan problematika hidup ke dalam kelas. Ada kisah kurangnya perhatian, ada duka perpisahan orang tua yang membuat hati terenyuh. Ruang kelas tak ubahnya lukisan kehidupan, yang hampir tiap hari aku berusaha ikut merasakan dan menjadi mercusuar di tengah badai kecil mereka.

Perjalananku tak hanya diwarnai oleh peran guru dan wali kelas. Takdir membawaku melintasi berbagai pos, yang masing-masing memberiku pelajaran berharga. Menjadi Koordinator Sarana Prasarana, aku belajar bahwa fondasi fisik yang kokoh adalah panggung tempat impian anak-anak bermain. Kemudian, peran Koordinator Tata Tertib Siswa dan Kesiswaan menuntutku untuk menjadi arsitek karakter, menegakkan aturan bukan dengan palu hakim, melainkan dengan tangan yang membimbing, berhadapan dengan aneka ragam pribadi orang tua yang juga penuh dinamika.

Puncaknya, menjadi PSDM, menaungi para guru dan karyawan, memberiku pemahaman bahwa sebuah kapal besar hanya bisa berlayar jika seluruh awaknya bersinergi. Semua peran itu menempa diriku, mengubah mahasiswa lugu tahun 1999 menjadi sosok yang lebih utuh. Menyapa atau menegur secara pribadi, meskipun sama-sama sebagai seorang pekerja pendidikan, tetap harus dilakukan agar harmoni lembaga semakin selaras.

Namun, di antara semua hiruk pikuk manajerial itu, ada satu kebahagiaan murni yang tak tergantikan: ekstrakurikuler musik. Di sanalah, aku melihat keajaiban terjadi. Anak-anak yang di kelas mungkin biasa-biasa saja, pendiam menjadi ekspresif saat memegang alat musik, di panggung musik mereka bersinar. Aku bangga beriringan dengan rekan, mendampingi mereka menemukan ritme yang melampaui segala rumus akademik.

Satu kesadaran fundamental yang selalu berakar dalam diriku adalah: jangan pernah menghakimi perbedaan. Siswa SMP hari ini mungkin terlihat biasa, tapi aku yakin, di babak kehidupan berikutnya, mereka akan berkembang menjadi luar biasa. Tugas kita, para pendidik, hanyalah mengarahkan dan melayani dengan hati karena masa SMP hanyalah singgahan singkat mereka.

Terima kasih untuk sekolah yang menjadi ladang pengabdianku, untuk pemerintah atas dukungan tunjangan dan pendampingannya, untuk para kepala sekolah dengan aneka karakter yang mewarnai kisahku, dan untuk rekan guru serta karyawan yang menjadi kawan seperjuangan.

Waktu seakan tak pernah berhenti berputar dalam pelayanan pendidikan ini. Untuk itu, terima kasih terdalamku untuk keluarga di rumah, pelabuhan ternyamanku yang penuh pemahaman dan dukungan tanpa batas.

Novel kehidupan seorang guru ini masih akan terus berlanjut. Di Hari Guru ini, aku hanya mengambil jeda sejenak, tersenyum, dan siap untuk menulis babak-babak berikutnya.


Comments

© 2020 LondoGodong

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.